Darah jawara


 ~🙏Darah Jawara🙏~

             Part 1


Masih tersisa aura petarung dan kegagahan diuasianya yang tak lagi muda. 

Juga kesabaran dan kasih sayangnya yang luar biasa besar terhadap keluarga kecilnya tak pernah padam, tetap membara.

Lelaki itu adalah bapakku.

Seorang lelaki sederhana namun begitu bersahaja dimataku.

Dari ke enam putra putrinya, mungkin hanya akulah yang begitu ceriwis dan banyak bicara dan banyak bertanya.


Bercerita tentang masa mudanya yang sebagai pendekar pencak silat di jamannya adalah sesuatu yang begitu menyenangkan baginya.

Dan beliau dengan senang hati akan menjawab dan menjelaskan semua keingintahuanku tentang dunia pencak silat ala pondok pesantren.


Menurut cerita bapakku, beliau mulai belajar pencak dan bertarung dipanggung bebas tahun 1964.

Jaman itu, sebagai pemuda Ansor yang akrab dengan kehidupan ngaji ala mushola kampung ( kebetulan rumah kakekku dimana bapakku menjalani masa remajanya punya mushola di depan rumah) yang dipakai untuk umum.

Hampir semua santri mushola itu seminggu sekali belajar pencak silat dengan pelatih seorang pendekar silat dari kampung lain.

Namanya Pak Tasripan yang kebetulan juga menjabat sebagai kamituwa (kepala dusun).

Dan para santri muda itu sepertinya punya ketertarikan yang sama untuk mempelajari seni tradisional bela diri.


Tahun 1967 sampai 1968 bapakku lebih memilih sekolah di pondok pesantren setelah putus sekolah dari SMI ( setingkat SMP).

Dari sana beliau kenal dengan kyai kyai yang menjadi guru ngajinya.

Tahun 1969 bapakku berhenti dari nyantri di pondok pesantren karena menjadi Kebayan ( perangkat desa), tetapi kegiatan belajar pencak silat masih rutin dilakukan.

Dan dari sekian teman temannya dari pemuda Ansor ada salah seorang yang tahu kelebihan bapakku dalam mempelajari jurus jurus silat.

Namanya pak Latif ( beberapa tahun terakhir kulihat beliau masih aktif sebagai wasit diacara tarung bebas/ pencak dor).

Pak latif ingin belajar lebih mendalam tentang seni pencak silat.

"Tip, kalau mau belajar sunguhan sebaiknya kita mencari guru yang benar benar pendekar atau Kyai" kata bapakku kala itu.

Dan akhirnya mereka berdua menghadap ke Almarhum Gus Maksum ( seorang Kyai terkenal dari pondok Lirboyo Kediri).

Karena sebelumnya bapakku adalah santri dari pondok pesantren tersebut, jadi beliau sudah kenal sebelumnya dengan Gus Mak'sum.


Akhirnya diawal tahun 70an bersama sekitar 15 orang kawannya, bapakku belajar ilmu silat langsung dilatih oleh Gus Maksum.

Menurut bapakku, Gus Maksum lebih memprioritaskan anak muda santri kampung yang belajar pencak silat ke pondok Lirboyo daripada santri santrinya sendiri.

Tiap kali ada undangan pertandingan Pencak Dor atau tarung bebas, kelompok santri kampung ( bapakku dan kawan kawannya) inilah yang diturunkan.

Mulai Surabaya, Mojokerto, Gresik, Jombang, Nganjuk, Tulung Agung, Blitar adalah kota kota dimana bapakku pernah bertarung menjungkalkan lawan lawannya dan belum pernah terkalahkan.


"Apakah bapak pernah kalah dalam bertarung?" tanyaku kala itu.

"Belum pernah" jawab bapakku.

Kenapa belum pernah kalah?

Karena mereka menggunakan sistem.

Biasanya dalam pertandingan mereka menaikkan yang paling muda atau paling kecil dulu. 

Setelah mendapat lawan,kemudian mereka bertarung.

Dalam tarung bebas ini tidak ada ketentuan baku berapa ronde para pendekar harus bertarung.

Bisa jadi di ronde pertama langsung menyerah dan tidak bisa melanjutkan, maka sang pendekar dipersilahkan untuk turun. 

Kemudian akan naik petarung lain.

Bila petarung muda dari kelompok Kediri, kelompok bapakku pimpinan Gus Maksum ( Gasmi = Gerakan Aksi Silat Muslimin Indonesia) yang merasa lawannya terlalu besar, maka dia akan mundur.

Lalu akan dilawan oleh petarung lain yang lebih senior.

Dan dalam sistem ini bapakku ditaruh di petarung no 2 dari belakang.

"Kenapa begitu pak?" tanyaku penasaran.

"Karena biasanya (kelompok manapun) yang dianggap paling jago ditaruh belakang untuk menjadi kunci kemenangan. 

Dan, bapakku adalah pendekar yang punya nama di jamannya "Bayan Sukorame."

Dan biasanya setelah bapakku bertarung, akan jarang ada lawan lain untuk melanjutkan pertarungan berikutnya.

"Trus kalau tidak ada lawan bagaimana pak?" tanyaku semakin penasaran.

"Ya oleh wasitnya dusuruh turun, terus akan ada petarung lain yang naik dan mencari lawan lagi."

"Dan bila belum juga ada yang naik, maka akan ada " Seteman" yaitu peragaan jurus jurus dalam tendangan, pukulan, kuncian tetapi oleh teman seperguruan.

Jadi tidak melukai, hanya sebagai gerakan kembangan saja." Terang bapakku menanggapi rasa ingin tahuku.


"Pak, selama bapak menjadi pendekar tarung bebas, pengalaman apa yang paling berkesan ketika bertarung diatas panggung pencak dor yang tinggi dan beralas hanya papan itu?" tanyaku semakin ingin tahu.

"Ketika acara pencak tahunan antara Gasmi ( Gerakan Aksi Silat Muslimin Indonesia) Kediri bertemu Gopi ( Gabungan olahraga Pencak Islam) pimpinan seorang Kyai mumpuni dari Blitar" jawab bapakku penuh semangat.

"Memang kenapa pak? tanyaku lagi.

Karena disitu akan turun pendekar pendekar besar dan punya nama dengan gerakan dan langkah seni bela diri cantik" jawab bapakku.

"Apakah bapak masih ingat nama nama mereka?" tanyaku lagi.

"Samiran, Juned Bisu, adalah salah satu pendekar pendekar tangguh dari Blitar" jawab bapakku.

"Masih banyak lagi sebenarnya, tapi bapak lupa namanya karena kebanyakan dari mereka sudah meninggal dunia" imbuhnya.

Kemudian dengan penuh semangat bapakku menceritakan tentang malam yang berkesan.

Dimana kubu GOPI Blitar dengan naik truk membawa "KERANDA MAYAT " diatasnya dengan tujuan menjatuhkan nyali lawan.

Tetapi itulah seni bela diri yang masih begitu murni ajaran para Kyai.

Tidak ada kata dendam setelah bertarung.

"Diatas lawan dibawah kawan" itulah semboyan mereka."


"Apakah tidak ada rasa takut ketika menghadapi pertarungan melawan GOPI Blitar pak?" penasaranku semakin menjadi.

Dan bapakku pun memberikan penjelasan yang luar biasa komplit demi menjawab rasa penasaranku.

Biasanya seminggu sebelum pertandingan, akan ada surat undangan yang ditujukan ke pondok pesantren Lirboyo.

Kemudian sang guru Gus Maksum akan mengarantina para pendekar pilihannya disebuah kamar khusus di pondok Lirboyo ( salah satu dari pendekar itu adalah bapakku)

Selama tiga hari mereka disuruh melakukan ngebleng atau puasa pati geni yaitu tidak boleh terkena sinar matahari. Dan hanya berbuka dengan sekepal nasi putih dan air putih saat magrib, lalu melanjutkan wiridan atau rapalan atau doa doa khusus dengan tujuan tahan pukulan, bantingan, kekebalan, kelincahan dan fokus atau konsentrasi.

Dan para santri muda yang begitu tawaduk kepada Kyai nya itu menjalankan semuanya dengan khusyu.

Hasilnya adalah ketika bapakku beratraksi bergulung diatas duri salak yang tajam, tidak ada luka sedikitpun di kulitnya.

"Memang bapak dirajah tangan atau kakinya oleh Gus Maksum ya?" lagi lagi aku bertanya.

"Gus Maksum adalah Kyai yang tidak merajah tubuh muridnya, tetapi lebih memberikan doa doa dan wirid yang harus dijalankan sendiri oleh muridnya sebagai amalan sebuah ajaran, dan bapakmu ini adalah orang yang sangat manut dan hormat kepada Kyainya," jelasnya lagi.

Dan memang selama melanglang buana di ajang pencak dor, bapakku belum pernah kalah ataupun cidera.


"Lalu kapan terakhir bapak bertarung dan kenapa kok bisa berhenti?" tanyaku lagi.

Menurut bapakku tahun 1980 adalah terakhir beliau "munggah pencak" karena memiliki tanggung jawab ( anaknya masih kecil kecil), takut bila cidera dan tak bisa mencari nafkah untuk keluarganya.

Selain itu, pada saat itu juga masih ada hubungannya dengan politik dimana semua perangkat desa seolah olah harus GOLKAR, sedangkan bapakku yang bersekolah di pondok pesantren dan tumbuh remaja sebagai pemuda Ansor bagian dari NU yang otomatis bernaung dibawah partai islam PPP 

partai berlambang Ka'bah ( saat itu di Indonesia hanya ada tiga Partai, PPP, GOLKAR dan PDI).

Dan dengan memendam hasrat bertarungnya yang masih membara bapakku memutuskan untuk pensiun dari dunia tarung bebas atau pencak dor. Walaupun tiap kali ada pertandingan pencak, bapakku seolah olah ingin meloncat ke atas arena dan kembali mempraktekkan jurus jurus silat andalannya. 

Tetapi rasa itu mampu di tahannya.


Darah tak pernah berhenti mengalir dari tubuh seorang ayah kepada anak anaknya.

Dari ke enam anaknya, kami semua pernah mempelajari ilmu bela diri.

Hingga salah satu dari kakakku ada yang berhasil menjadi juara nasional pencak silat Indonesia. 

Aneka trophie, medali dan piala kemenangan berjejer rapi di lemari rumah orang tuaku.

Itulah sekilas perjalanan masa muda bapakku.

Lelaki perkasa kebangganku.

Kalian penasaran dengan kisah jawara jawara lain dalam keluargaku?

Tunggu tulisanku dalam "Darah Jawara" part2


Lisse

21/05/2020


Pada sebuah kisah perjalanan 

(Darah lebih kental dari air)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sukarni #5

Abot

Entah Berapa Purnama