Astuti
~Astuti~
(Putih biru, abu-abu bukan sweet memoryku)
"Turunkan jahitan rokmu, ini sekolahan! Bukan ajang untuk pamer keseksian!" Hardik Bu Liely ketika berpapasan dengan Astuti di lobi kelas 3A1 siang itu.
Tak ada jawaban dari Astuti, selain tatapan balik matanya yang tak kalah nanar kepada guru Bahasa Inggris yang selalu sinis memandangnya.
"Setidaknya betisku tidak sebesar betismu Bu," umpatnya dalam hati.
Meski sebenarnya hatinya sadar, bahwa tidak mungkin lagi menurunkan jahitan rok yang sudah diturunkan bahkan tak ada lagi sisa lipatan yang sudah dijahit jelujur oleh ibunya dua hari yang lalu.
"Seandainya saja orang tuaku mampu membelikan seragam baru, tidak mungkin kau akan selalu mencari ribut denganku Bu," dengus remaja itu dengan kesal.
"Cuma kamu satu-satunya murid perempuan yang selalu melipat lengan bajumu, apa mau jadi jagoan?"
Omelan Bu Liely kembali terngiang ditelinga Astuti.
"Orang-orang yang tidak mau tahu betapa lengan bajuku ini telah sobek dan sebenarnya terlalu pendek," batin hati Astuti seraya melihat lipatan lengan seragam sekolahnya yang memang tampak lain dengan teman-temannya.
Remaja yang baru saja mendapat mestruasi pertamanya diusianya yang ke-15 memang agak beda.
Watak, pembawaan serta emosinya terkadang diluar perkiraan guru-gurunya.
"Sekolah kok semaumu sendiri, Senin masuk Selasa libur, Rabu masuk Kamis libur, Jumat masuk Sabtu setelah istirahat pulang tanpa ijin. Niat sekolah apa tidak? Kalau memang tidak niat ya keluar atau pindah saja," ucap Bu Prapti sebagai wali kelas yang mengetahui absensi Astuti selama satu bulan terakhir.
"Saya malas dan bosan dengan pelajaran Matematiks, Bu" jawab Astuti dengan tegas.
"Kalau tidak bisa, harusnya kamu bertanya kepada Bu Ariana. Bukan malah menghindarinya," ucap wanita bertubuh tambun itu dengan membelalakkan matanya.
"Saya tidak tahu harus bertanya apa Bu, rumus dan apa yang harus dihitung saja saya tidak tahu, apalagi kalau harus mengerjakan tugas didepan kelas. Benar-benar sebuah kesengajaan untuk membikin pusing kepalaku." Jawab Astuti dengan santai.
"Karena Bu Ariana tahu kau tidak memperhatikan kelasnya!" Bentak Bu Prapti tersulut emosi.
"Saya kira bukan hanya saya yang tidak paham dengan pelajaran ini, tetapi kenapa selalu saya yang harus maju? Kenapa bukan murid yang lainnya? Mau mempermalukan saya?" Cerocos Astuti seolah meluapkan segala kemarahannya.
"Kemarin-kemarin saya mencoba berdamai dengan hati dan mengikuti kelas Bu Ariana dengan sebaik mungkin. Tetapi otak saya tidak sampai pada hitungan Sin Cos Tan dan saudara saudaranya Bu" jelas Astuti lagi.
"Kemudian Bu Ariana memanggil nama saya untuk menyelesaikan tugas didepan kelas. Sementara saya tidak tahu angka berapa dan bagaimana rumusnya, saya benar-benar mual bila melihat angka-angka itu, jadi daripada saya menjadi badut didepan kelas mending saya tidak masuk Bu."
"Kamu berangkat dari rumah? Lalu tidak pergi ke sekolah?" Tuduh Bu Prapti lagi.
"Saya pantang berbohong kepada ibu saya Bu, saya ceritakan semua apa yang menjadikan bebanku. Kalaupun saya tidak masuk, saya tetap dirumah membantu ibuku." Jujur Astuti kepada wali kelasnya yang selalu memandangnya dengan sebelah mata.
Semacam kebencian atau kesinisan yang tak tahu apa penyebabnya.
Untung saja gerbang sekolahan itu masih terbuka meski bel masuk telah berbunyi.
"Mbak, kalau ketahuan saya bisa kena tegur lho," ucap pak Sugeng. Satpam sekolah yang bertugas pagi itu.
"Kan pintu masih terbuka, berarti saya masih boleh masuk dong," jawab Astuti sambil nyelonong pergi meninggalkan pak Satpam yang masih terbengong tidak tahu harus berbuat apa.
Sementara dari ruang guru, tampak para pengajar itu keluar untuk menuju jam kelasnya masing-masing.
Sedikit berlari Astuti mencoba mendahului langkah mereka agar bisa sampai ke kelasnya.
Tetapi, tiba-tiba terdengar panggilan dari seberang ruangan.
"Hei, coba berhenti sebentar," panggil pak Harmadi. Kepala sekolah yang sebenarnya ramah.
"Ehhhh.... selamat pagi Pak, bapak memanggil saya?" Astuti terkaget dan menjawab dengan menundukkan kepala.
"Pagi,...saya sering perhatikan kamu datang hampir bersamaan dengan bel masuk, apakah rumahmu jauh dari sekolah?" Tanya pak Kepsek.
"Tidak Pak, rumah saya hanya sekilo meter dari sekolahan," jawab Astuti.
"Kenapa sering mepet berangkatnya?" Tanya pak Kepsek lagi.
"Saya menunggu sampai angkutan umum longgar Pak," jawab Astuti.
"Memangnya kenapa kalau longgar?"
"Saya bisa menumpang gratis" jawab Astuti lagi.
"Maksudmu..."
"Kenek dan sopirnya tetangga saya pak, mereka tahu kalau saya tidak diberi uang saku. Jadi saya boleh numpang asal tempatnya lenggang," imbuh Astuti memotong pertanyaan yang belum selesai diucapkan oleh pak Kepsek.
"Tinggi badanmu berapa? nanti kalau lulus coba ikut tes polwan atau pramugari. Kalau kami perhatikan kamu pantas dan mempunyai bakat disitu." Tanya pak Kepsek penasaran dengan kecuekan dan kesemauan sendirinya dari salah satu muridnya.
"Saya tidak pernah mengukurnya Pak, bagi saya bisa lulus SMA lalu bekerja bantu orang tua. Itu saja." Tandas Astuti dengan sopan kemudian tergopoh menuju kelasnya sebelum pelajaran pertama dimulai.
Waktu terus berjalan mengikis hari, minggu, bulan hingga ketiga tahun ajaran. Saat yang berat dialami Astuti antara masa puber dan masa remaja dengan segala keterbatasan ekonomi dan kemajemukan ide gagasan di dalam kepalanya.
Buku-buku catatan yang campur aduk dengan berbagai mata pelajaran seringkali hanya menjadi muntahan kepenatan yang dituangkan dalam coretan-coretan asal-asalan.
Jatuh cinta?
Remaja mana yang tak tertarik dengan lawan jenisnya diusia belasan?
"Ahhhh...kok kayak punguk merindukan bulan, apa ya mungkin cowok yang jadi idola disekolahnya itu tertarik padanya?" Sinis Astuti menertawakan suara hatinya.
"Pikirkan saja bagaimana kau selesaikan tugas karya tulis untuk menjadi syarat mengikuti UAS," sanggah batinnya ketika mengingat bahwa tugas inti dari sekolahnya belum disentuhnya sama sekali.
"Aku malas kalau tiap kali mengajukan contoh, terus ditolak. Disuruh membetulkan kalimat disana sini yang ujung ujungnya harus mengganti seluruh lembar halaman. Yang otomatis harus membeli kertas HVS dan bayar tukang ketik lagi." Ucap Astuti ketika seorang teman bertanya tentang karya tulisnya.
"Lalu, kau sudah dapat nomer ujian?" Tanya temannya lagi.
"Alhamdulillah, uang sekolahku sudah lunas. Jadi sudah bisa ikut ujian. Yang penting kan sudah bayar, bukan karya tulisnya." Jawab Astuti dengan kepercayannya yang sebenarnya adalah bentuk dari keputus asaan karena keadaan. Guru pembimbing yang menurutnya selalu mencari kesalahan dan keadaan kantongnya yang seringkali kering kerontang.
Ahhhh ...yang penting lulus!!!
"Mbak, ini surat panggilan dari sekolahan, kalau seminggu kedepan ijasahnya tidak diambil. Maka akan dikembalikan ke pusat Dinas Pendidikan," ucap pak Sugeng ketika mengantarkan surat kerumah Astuti.
"Ohhh....inggih matur nuwun Pak, besok senin saya ke sekolahan." Jawab Astuti singkat.
"Gilaaaa, masih ditagih juga rupanya." Rutuk hatinya seraya memutar otak untuk mendapat karya tulis tanpa harus keluar banyak biaya.
"Ohhh...yesss, beres.. pasti bisa," girang hatinya ketika ingat tetangganya yang menjadi tenaga honorer disebuah sekolah SMA swasta.
"Om, kalau bisa ambilkan satu saja, nanti biar saya ganti nama dan tanggal penulisannya."
Pesan Astuti pagi itu kepada pak Pandi.
"Beres mbak, ada banyak karya tulis dari murid yang sudah lulus dan ngangkrak di gudang," jawab pak Pandi dengan santainya.
Dan begitulah, setelah tiga bulan lulus dari sekolahnya tanpa bisa membawa pulang ijasahnya, kini Astuti merasa lega.
Dengan karya tulis abal-abalnya dia dengan mudah datang ke bekas sekolahnya, mengikuti prosedur tanpa banyak bicara dan tanpa banyak ditanya pula.
Yang penting ijasahnya sudah ditangannya.
Lalu bagaimana selanjutnya?
Kehidupan baru mulai diawal perjalanan.
Ketika teman-temannya sibuk memilih dan ikut tes masuk universitas, Astuti lebih suka berpikir untuk mencari kerja. Karena memang untuk meminta kuliah pun dia sangat tahu orang tuanya tidak punya biaya.
Entah kamus tebal Bahasa Inggris komplit dengan contoh kalimat dan penggunaanya itu milik siapa. Yang pasti sejak lulus ketertarikan untuk membaca kamus itu seolah mampu menggerakkan hatinya untuk terus mempelajarinya.
"Ahhh...ini buku yang luar biasa"
"Ternyata bahasa Inggris itu asyik juga ya,"
"Ooo... ternyata begini gramatikanya,"
Dan berbagai rasa antusias tampak dari kesibukannya selama jadi pengaangguran ditumpahkan bersama kamus Bahasa Inggris "AJAIB" yang ditemukannya.
"Selamat siang para penumpang yang terhormat, kami mewakili kapten pilot dan segenap crew yang bertugas. Silahkan cek kembali sabuk pangaman dan pastikan kursi sandaran anda telah pada posisi semula. Sebentar lagi penerbangaan kita akan sampai dan akan mendarat. Terima kasih telah mempercayakan perjalanan penerbangaan anda bersama kami."
Sebuah suara dari rekan pramugari terdengar menggema merdu melalui mikrophone dari dalam pesawat maskapai Nasional dengan yang juga menyediakan rute penerbangaan internasional.
Seolah membuyarkan lamunan Astuti yang tengah berlayar kembali ke masa remajanya.
Betapa nasib orang tiada yang bisa menyangka. Bahwa sebuah talenta dan kecerdasan adalah bawa'an yang tidak bisa dibeli ataupun dipelajari. Hanya butuh asahan dan kesempatan. Dan juga keberuntungan tentunya 🙏🙏🙏
THE END
Lisse
25/12/2021
Komentar
Posting Komentar