Bangku tua depan gereja


 ~Bangku Tua Depan Gereja~


Kembali langkah ini terpaku disini. Menatap jalanan yang masih lalang seperti dulu. Menyaksikan burung burung yang saling berpatuk dalam cumbu. Selembar roti gandum kulemparkan, bercuitan mereka saling berebutan.

Sengaja kubiarkan mereka mendekati kakiku, bahkan mematuk roti dari tanganku.

Ambilah...ambilah, kataku seraya melempar semua lembar roti makan siangku yang tiba tiba saja tidak mampu menggoda rasa laparku.

Burung burung itu tampak berloncatan, mungkin itulah bahasanya untuk berterimakasih.


Senja beranjak sempurna. Seperti rinduku yang utuh kepadamu.

Yang selalu kutitipkan di langit Amsterdam tiap kali aku datang. 

Ada namamu disana, bangku tua depan gereja. Saat hujan tangan kita berdekap dalam genggam.

Jangan pernah lepaskan. Karena kita saling menguatkan bukan?

Di sendiriku ada kenangan tentangmu.

Meski basah memerah hujan, cerita disudut kota itu tak akan pudar.


Aku rindu,

Rindu sekali, tentang cerita dan langkah kita menyusuri kota tua. Mengupas kepedihan yang sengaja kita titipkan diujung malam, agar mimpi menjaganya lalu meminangnya menjadi tekad.

Sangat sempurna bukan? Bahkan kita tertawa ketika salju mengabarkan beku, lalu kita melepas baju dan sepatu.

Hanya untuk menantang sekuat apa kulit dan tulang kita.

Bodoh sekali bukan?

Tetapi sekali lagi kita tertawa lepas, sebebas burung burung yang hinggap diranting depan gereja.


Senjaku disini, memelukmu dalam rindu.

Memanggilmu dalam diamku.

Kita terjebak dalam waktu yang begitu khianat. Membiarkan suara suara berkata semau lidahnya. Sementara kita tak pernah meminjam tungku pun meminta kayu.

Aku hanya ingin memelukmu, terus memelukmu.

Karena kutahu...tangankulah yang benar benar tulus untukmu.


Amsterdam

14/01/2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sukarni #5

Abot

Entah Berapa Purnama