, Bart-Henk
" Bart & Henk"
Ouderkerk dipagi itu,
Seperti biasa kumulai Rabu pagiku dengan perjalanan seperti minggu minggu yang telah lalu.Tak terasa telah dua tahun kususuri jalan kecil diseberang pemakaman yahudi kemudian menyeberangi jembatan dengan sungai kecil diatasnya yang disebelahnya terdapat sebuah toko roti yang selalu ramai, juga gereja tua disudut pertigaan yang bersebelahan dengan bejaardenhuis ( panti jompo). Sementara diseberang jalan terdapat sungai dengan perahu perahu pribadi yang ditambatkan oleh pemiliknya.Tak ketinggalan deretan bangku bangku kayu untuk sekedar melepas lelah para pejalan atau pesepeda sambil menikmati indahnya pemandangan. Seperti halnya aku yang seringkali sepulang kerja sejenak berhenti dan duduk ditepi sungai sambil memberi makan angsa angsa liar dengan roti yang sengaja kubawa dari rumah.
Tetapi tidak dengan siangku hari ini. Sejak pagi cuaca sudah sangat buruk. Hagel ( hujan es) disertai angin membuat dedaunan basah berterbangan disamping cuaca yang dingin sekalipun telah kubungkus tubuhku dengan jaket winter,sarung tangan, muts( topi musim dingin) plus sjaal.
Tetap saja, hujan yang tiba-tiba mengguyur meluluh lantakkan kakiku untuk mengambil langkah seribu meski kutahu percuma "aku telah basah dibawah hujan."
Sialan,....rutukku dalam hati, welkom in Nederland kata batinku seolah menertawakan kebodohanku yang enggan membawa payung.
"Mevrouw.... mevrouw...kemarilah"....sebuah suara terdengar memanggilku seolah tahu bahwa aku butuh tempat berteduh.
Dan entah kenapa, tanpa pikir panjang kubelokkan kakiku menuju rumah disudut jalan itu.Yang penghuninya sudah sering bertemu dan bersapa denganku tapi tak saling mengenal.
"Keringkan wajahmu dan lepaslah jaketmu," ucap lelaki tua itu sambil menyodorkan handuk bersih kepadaku.
"Terima kasih meneer" jawabku sambil tersenyum mencoba mencairkan suasana yang bagiku masih baru.
"Kau mau kopi, teh atau yang lain mungkin?"
Tawarnya kepadaku.
"Kalau ada aku lebih suka segelas coklat hangat".
Jawabku memastikan, karena aku baru saja ngopi ditempat kerja. Jadi segelas coklat hangat sangat cocok diminum dalam cuaca yang sedang tidak bersahabat.
"Masuk dan duduklah, sementara aku bikinkan minuman untuk kita."
Pintanya sekali lagi.
(rumah di belanda hampir selalu ada ruang pembatas antara kamar tamu dan pintu masuk)
Di dalam ruang tamu tampak seorang lelaki tua yang sering aku sapa dan jumpa sedang duduk sambil mengelus anjingnya.
"Henk," ucapnya sambil mengulurkan tangan.
" Sita," jawabku sambil membalas jabatnya.
"Oooh, jadi namamu Sita, selama ini kami memberimu panggilan miss Asia..hehehehe."
Ucapnya menunjukkan keakraban.
"Betul", jawabku sambil mengangguk.
"Ohhh...iya, kenalkan juga, ini anak lelaki kami yg nakal, namanya Damon."
"Ayo Damon... kenalan sama tamu kita yang cantik."
Seketika si Damon pun menyalak.πππ
Namanya juga anjing, jadi bisanya ya cuma menyalak atau menggonggong.
"Nahhh....ini minuman kita sudah siap untuk dinikmati," ucap lelaki tua satunya lagi yang ternyata bernama Bart.
Suasana tengah hari yang badai dan hujan es pun berubah hangat ketika kami memulai obrolan yang bagiku sangat menarik dan sedikit diluar dugaan.
"Kami saling mengenal ketika sama sama mengikuti wajib militer di Rotterdam"
"Waktu itu tahun 1966 dan usiaku masih sangat muda, baru 24 tahun. Dan Henk dua tahun lebih muda dariku."
Ucap Barth sambil menunjukkan foto dua lelaki tampan dan gagah dalam seragam militer yang berpose saling berangkulan.
Dan memang, dalam ruangan yang bergaya klasik itu banyak terpajang foto foto mereka ketika masih muda.
Ruangan yang nampak bersih dan rapi sekalipun penghuninya adalah pasangan lelaki yang telah beranjak senja.Tetapi secara kebersihan dan kerapian boleh dibilang lebih dari cukup untuk ukuran mataku yang kebetulan berprofesi sebagai babu atau istilah kerennya thuiszorg tetapi tetap saja aku lebih suka menyebut diriku " de babu syalala" yang artinya babu yang selalu gembiraπππ
"Kami mempunyai ketertarikan yang tidak pada lazimnya."
"Aku paham dan sangat mengerti."
Potongku sebelum Bart meneruskan ucapannya.
"Benarkah?...kau paham tentang kehidupan kami?"
Tanyanya seolah tak percaya.
"Aku telah mempunyai diploma kelulusan untuk mempelajari bahasa dan budaya kalian, jadi aku sangat paham bahwa homo, gay, lesbisch disini mendapat kesetaraan, bagiku tidak ada yang aneh dengan kalian."
Ucapku sembari tersenyum meyakinkan.
"Dua tahun kita bersama dalam satu asrama pelatihan militer, aku lebih tertarik ke hal medische sehingga ketika sebuah rumah sakit di Amsterdam membutuhkan tenaga medische mereka merekrutku untuk bekerja sebagai assistent dokter sampai mendapat kontrak kerja hingga pensiun aku mengabdikan diriku dirumah sakit itu."
"Sementara Henk lebih tertarik ke dunia penelitian, jiwanya sangat petualang dan penuh keingintahuan."
Bart lah yang lebih aktif bercerita tentang masa muda mereka.Tentang suka duka menjalani hidup bersama sebagai pasangan sejenis, yang harus berlapang dada menerima pandangan yang kurang mengenakkan bahkan dari keluarga dan lingkungan terdekat. Karena pada saat itu keliberalan berfikir belum seperti saat ini. Dimana orang sudah bisa menghargai hak azasi, dimana orang sudah bisa menerima perbedaan / ketidaknormalan hubungan secara jenis kelamin.
"Kalian sangat beruntung tinggal di negara ini.Tempat yang sangat menjunjung tinggi toleransi dan hak azasi."
Kataku mencoba mencairkan kesedihan di wajah Bart.
"Maksud kamu bagaimana Sita?"
Tanya Henk penuh antusias.
Lalu kuceritakan tentang sebuah pulau di Indonesia yang begitu ketat aturan terhadap kaum LBGT. Bahkan mereka harus mendapatkan hukuman cambuk di depan umum bila ketahuan berperilaku menyimpang.
Dan juga tentang demo demo penolakan terhadap mereka yang seolah menjadi trend dimana mana. Belum lagi pandangan pandangan kaum agamis yang memojokkan mereka dari sudut religie.
"Siapa yang mau menjadi seperti kalian, tak seorangpun, tetapi kalian tak bisa memilih bukan? seandainya bisa, pastinya menjadi normal adalah pilihannya."
Kataku meyakinkan bahwa mereka tidaklah bersalah atas hidupnya.
"Kau sungguh bijaksana miss Asia hehehehe." Si opa Bart tertawa terkekeh menunjukkan sambungan gigi yang telah keropos dimakan usia.
Begitulah cerita siangku, bertemu dengan orang orang yang hampir tiap minggu bertegur sapa denganku tanpa tahu nama dan siapa diriku. Karena bagi mereka sebuah senyuman sudah cukup untuk mewakili dan menilai seseorang.
Yaaah... Mereka orang orang yang telah cukup makan garam kehidupan, pastinya bisa merasakan sebuah ketulusan senyum dari seorang wanita asia sepertiku.Yang cuma mengandalkan kejujuran dalam setiap tindakan dan percaya Tuhan dalam setiap keadaan.
Dan sepertinya mereka tidak sendiri, ternyata ada lelaki tua lainnya yang selalu menanti sapa dan senyumku. Lelaki tua yang sering kujumpa di seberang gereja dengan kotak fluit yang selalu dibawanya.
Simon namanya, salah seorang pengiring paduan suara di gereja tua sudut jalan itu.
Martha,...istrinya telah meninggal setahun yang lalu setelah bertahun berjuang melawan kanker payudara.
Dari Bart dan Henk aku dengar tentang kebiasan mereka yang menanti aku lewat dan tersenyum kepada mereka sambil mengucap " goedemiddag."
Juga tentang Simon si opa peniup fluit yang tinggal dua rumah disebelah rumah mereka.Yang menjadi sahabat dan saudara bagi keduanya dalam menikmati hari tua.
Hujan telah reda, setelah aku ceritakan perjalanan hidupku hingga sampai ke negeri belanda, juga kepandaianku dalam memasak masakan asia akupun berpamitan.
Tak lupa janji untuk memasak buat mereka di musim panas nanti, juga pintu yang selalu terbuka bila aku ingin sekedar mampir untuk minum kopi.
Ahhhh.... Sungguh hari yang indah. Berkenalan dengan tiga orang lelaki tua yang bahagia menikmati sisa usia. Yang saling membantu dan saling berbagi cerita sekalipun dalam duka.
Bart, Henk dan Simon. Hari ini kalian telah banyak memberiku inspirasi dan motifasi dalam menjalani hidup.
"Cukup tetaplah yakin dan baik kepada apapun rencana Tuhan untuk dirimu."
"Kami hanya butuh tempat untuk saling bersandar dan berpegang tangan ketika jiwa dan raga dalam keletihan."
"Kami hanya ingin bahagia bersama hingga ajal memisahkan kita."
Tiga kalimat yang seolah begitu terpatri dalam ingatanku.
Di usia mereka, sepertinya aktifitas biologis tak mampu lagi atau bahkan tak lagi mereka butuhkan. Selain saling menjaga, menyayangi dan mengasihi hingga tutup usia.
Ouderkerk 31/01/2018
Pada sebuah kisah perjalanan ( "senyumku adalah penolongku")
siiiip.... lanjutkan
BalasHapus