Budak Nafsu Ibu Kost part3
~Budak Nafsu Ibu Kost~
Part3
Rumah kost tante Ve dua minggu ini terasa sunyi.
Mas Benard adik tante Ve yang mengurusi kebutuhan kakaknya tidak selalu ada dirumah ini. Terkadang seharian di Rumah Sakit, dan pulang hanya untuk mandi atau mengantar dan mengambil cucian dari laundry.
Yaaa,...sejak kejadian na'as bersama Jamal malam itu, kondisi ibu kostku memang harus dirawat di Rumah Sakit.
Benturan keras dan luka di kepalanya membuatnya pingsan dan sekarang koma.
Oh...Tuhan, entah kenapa aku gelisah dan takut sesuatu terjadi dengannya.
Sejenak terbersit di ingatanku, tentang Jamal pagi itu.
"Demi Tuhan, saya tidak sengaja mas, saya tidak bermaksud melukainya," gugup Jamal berusaha memberikan penjelasan tentang sesuatu yang tidak ku ketahui.
"Ada apa ini Mal, maksud kamu apa? Kamu ini bicara soal apa?" Tanyaku lagi.
"Tante Ve mas, tante Ve jatuh dan berdarah," ucapnya sambil menunjuk pintu kamarnya.
"Di kamarmu? Kok bisa?" Tanyaku semakin tidak mengerti.
Sementara penghuni kost yang lain ikut terbangun karena mendengar kepanikan dan pembicaraan kami.
Singkat cerita, pagi itu tante Ve kita bawa ke Rumah Sakit karena pendarahan berat dikepalanya.
Mas Benard yang bertanggung jawab dan memutusi semuanya.
"Bagaimana runtutan kejadiannya, nanti saya akan berbicara dengan kalian semua, terutama denganmu Jamal," kata mas Bernard siang itu ketika masih di Rumah Sakit.
"Iya mas, saya siap memberikan keterangan," jawab Jamal tegas.
Sementara aku masih bingung, kenapa pagi itu tante Ve ada di kamar Jamal, bukankah malamnya sudah kupuaskan dengan kejantanaku?
"Kalau saya berniat jahat, harusnya saya yang berada di kamar tante Ve mas," Kata Jamal.
"Lalu kenapa Ve berada di kamarmu Mal?"
"Ceritanya panjang mas, mungkin akan lebih jelas dan gamblang kalau mas lihat dan baca sendiri percakapan kami di handphone saya," terang Jamal sembari mengulurkan gadgetnya.
Suasana sedikit lengang ketika mas Bernard mengamati handphone Jamal.
"Kenapa kau menolaknya Mal?" Tanya mas Bernard.
"Saya masih punya iman mas, sering kali tante Ve merayu saya, kalau sekedar memijit punggungnya saya bisa melakukannnya.
Tetapi bila lebih dari itu, saya selalu menolaknya," jelas Jamal seolah menguliti mukaku.
"Sebenarnya malam itu saya baru saja memijit mas Reno, trus mau lanjut untuk istirahat. Tetapi ketika sudah pulas, tiba-tiba tante Ve datang dan menarik selimut dan celana saya.
Karena kaget dan gelap, gerakan saya reflek mendorongnya hingga kepalanya membentur tembok dan lampu sudut dikamar itu." Ulas Jamal semakin jelas.
"Terus?" Kejar mas Bernard belum puas.
"Ketika saya sadar bahwa itu tante Ve, saya berniat menolongnya, tetapi karena panik dan gelap saya berniat meminta bantuan penghuni kost, lalu datang mas Andra yang mau berangkat mandi," terang Jamal sangat masuk akal.
"Kau tak pernah menanggapinya Mal?"
Tanya mas Bernard lagi.
"Saya tahu siapa saja yang keluar masuk kamar tante Ve mas, dan saya tidak ingin menjadi bagian dari semua ini. Karena saya datang untuk bekerja dan bukan untuk mengumbar nafsu mencari nikmat dunia."
Dheeeeeg.....
Rasanya jantungku seperti hendak meloncat keluar ketika mendengar keterangan Jamal.
"Siapa saja yang keluar masuk kamar tante Ve" berarti aku tidak sendiri.
Lalu siapa lagi?
Apakah Reno, Ian, Sugi atau bahkan om Bram yang pegawai Bank itu?
Ahhh....tidak penting bagiku. Yang pasti saat itu seketika mukaku merah karena malu.
"Aku sangat paham siapa dan bagaimana kakakku itu, dan aku tidak akan memperpanjang masalah ini," kalian tetap saja berkegiatan seperti biasa. Sementara saya tinggal disini karena harus mengurus Ve yang masih belum sadar." Ucap mas Bernard.
Minggu ke empat.
Sepulang dari kampus bergegas aku hendak mengunjungi salah satu muridku.
Dilantai bawah, sebelah ruang makan aku berpapasan dengan gadis belia yang menyegarkan mata.
Hotpants dan T-shirt putihnya juga sepatu ketsnya tampak serasi ditubuhnya yang padat berisi.
"Selamat sore" sapanya ramah.
"Virly" seraya mengulurkan tangannya.
"Ohhh.... Kalandra," jawabku masih terpana dengan kecantikannya.
"Selama ini aku tinggal di Singapore, apakah mama tidak pernah bercerita kepadamu?" Ucapnya.
"Aku belum lama tinggal disini, jadi mamamu juga belum banyak cerita dan kurasa juga tidak wajib pula untuk memberitahukannya kan?" Jawabku.
"Oh... oke, setidaknya sekarang kamu tahu, supaya aku tidak dikira maling ya," guraunya seraya membetulkan ikatan tali rambutnya.
Dan, entah kenapa pula ini mesti terjadi.
Gerakan tangan Virly yang terangkat ke belakang otomatis menarik crop T-shirtnya sehingga pusar dan perut rata itu terpampang indah di depan mata.
"Duuh Gusti....gadis ini menggairahkan sekali" ucap batinku mulai liar.
"Aku akan tinggal disini untuk sementara sampai om Ben kembali dari Bali," ucapnya sembari membuka handphonenya.
"Oh...iya, kamu sudah kerja atau masih kuliah?" Tanya Virly dengan santai.
"Aku masih kuliah sambil memberikan les piano untuk tambahan kecil kecilan" jawabku.
"Ohhh ...realy? Aku bisa sedikit main gitar, apakah kau juga bisa mengajariku?" Antusiasnya seolah memberiku jalan untuk semakin mengenalnya.
"Ohhh...bisa....bisa, kebetulan di kampus aku juga gitarist band kampus, jadi bukan hal sulit untuk mengajarimu," girang hatiku sedikit mempromosikan kemahiranku.
Setelah saling bertukar nomor telepon, akupun pergi dengan membuat janji sebelumnya dengan Virly tentunya.
BERSAMBUNG
Hai gaeeest
Cek ombak lagi gaaaest
Ikuti serunya badai Asmara antara Kalandra, Virly dan ibunya di part berikutnya.
Komentar
Posting Komentar