Mbak Mayang 2
Mbak Mayang
Part 2
Simpang siur berita kecelakaan pasangan muda karena pengaruh narkoba masih menjadi topik pembicaraan warga dimana Riyo dan Arin tinggal.
Namun dengan kondisi mulut yang berbusa, apakah over dosis atau keracunan?
Apakah murni kecelakaan atau ada unsur kesengajaan?
Biarkan menjadi tugas kepolisian untuk mengungkapnya.
Sementara itu, tentu saja kepergian pasangan Riyo dan Arin meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarga besar Subastian.
Seorang pengusaha dengan jaringan dan anak perusahaan di beberapa kota.
Dan Riyo Subastian adalah salah satu Direktur cabang dari perusahaan ayahnya.
"Saya takut kalau harus tinggal di rumah sebesar ini, Bu" ucap Mayang dengan air mata yang berlinang.
"Nanti akan ada saudara jauh yang menemani Nak Mayang disini, setidaknya sampai keadaan membaik. Apalagi anak-anak begitu dekat denganmu. Sebagai oma mereka, saya hanya bisa menyayangi dengan sepenuhnya, apalagi dengan kondisi yang seperti ini."
Harap ibu Murtia sambil memandangi kondisi badannya yang hanya bisa duduk diatas kursi roda.
Sementara Pak Subastian dan Risma masih berada dalam kamar tidur Untuk menenangkan kedua cucunya.
"Tante Risma akan sering kesini mengunjungi kalian," ucap adik Riyo dengan mata yang masih sembab karena terlalu banyak menangis tiap kali melihat kedua keponakannya.
"Tante Risma tinggal di Australia, mana mungkin akan sering kesini" jawab Bima yang sudah mengerti tentang apa yang menimpa kedua orang tuanya.
Sementara Intan masih belum begitu paham, karena usianya yang baru empat tahun.
"Papa Mama pergi ke surga kan, Opa?" tanya polos bocah perempuan itu kepada kakeknya.
Pak Bastian hanya mengangguk seolah mengiyakan pertanyaan cucunya.
Selama tujuh hari selamatan kematian anak dan menantunya, mereka memang menginap di rumah besar itu. Keluarga dekat juga bergantian datang sambil berembug.
Siapa nanti yang akan mengasuh bocah-bocah itu. Sementara Arin sudah tidak punya orang tua lagi, kakak satu-satunya pun tinggal jauh di luar pulau.
Jadi hanya keluarga Riyo lah yang bisa menjadi tempat berlindung untuk kedua bocah itu.
"Memang saya sangat dekat dengan anak-anak, Bu ... tetapi saya hanya pengasuh mereka. Keluargalah yang lebih bertanggung jawab untuk mengurus Bima dan Intan." Sedu Mayang yang masih diliputi kebimbangan.
Bukannya dia tidak mencintai anak-anak majikannya, tetapi dia sendiri bingung harus bagaimana ke depannya.
"Mbak Mayang ... adek mau bobok," rengek Intan sambil berlari dengan memeluk bonekanya dan menghambur ke pangkuan Mayang.
"Sini ... sini sayang cantik mbak" peluk Mayang sembari menyambut tubuh mungil itu dalam pelukannya.
"Intan begitu menyayangimu, Nak. Tidakkah kamu kasihan bila mereka kau tinggalkan?" Lirih ibu Murtia dengan pandangan kosong dan mata berkaca.
Mayang tak sanggup menjawab, selain sibuk mengusap punggung Intan yang sudah terlelap dalam pangkuannya.
Wajah polos yang belum begitu paham tentang orang tuanya, karena sejak lahir Mayang lah yang merawatnya.
Kesibukan Riyo dan Arin seolah menyita hampir seluruh waktunya untuk kedua anaknya.
"Tuhan, tolong hambamu. Berikan petunjukmu, apa yang harus hamba lakukan" rintih hati Mayang dalam do'a malamnya.
Sementara kedua bocah itu seperti biasa, terlelap dalam kamarnya.
Kamar belakang, kamar pembantu yang jauh dari ruang utama.
---------***-------
Tak terasa hampir enam bulan waktu berlalu, keluarga Bastian masih berusaha menahan Mayang agar tetap tinggal di rumah besar itu.
Meski ada satu pembantu dan sopir yang dikirim untuk menemani ketiganya, namun hati Mayang sering diliputi ketakutan. Apalagi dengan kematian Riyo dan Arin yang tidak wajar.
Ditambah pula rasa takut dan bersalah. Karena sebelum mereka bertengkar hebat, Riyo lah yang menjadi pemicunya. Karena masuk ke kamar Mayang, sehingga Arin marah besar.
Meski semua hanya kesalah pahaman, namun berakibat fatal.
Benarkah hanya karena hal itu?
Atau ada sesuatu yang lain?
---------***--------
Sementara di sebuah villa yang berada di kawasan Puncak, tampak Vadiya bergelayut manja di pundak Beno.
"Aku bahagia bisa bersamamu Ben" ucapnya sambil mengelus punggung tangan lelaki itu.
"Ahhh, kau hanya mencariku saat butuh. Kemarin-kemarin kamu selalu sibuk dengan alasan yang nggak jelas," jawab Beno sambil meneguk winenya.
"Sayang ... kamu kan tahu, aku harus hati-hati bermain hati. Suamiku galak sekali" jawab Vadiya dengan sedikit menekan suaranya.
"Lelaki cacat begitu, masih saja kau pertahankan. Ujung-ujungnya masih ke aku juga kan, kalau pas butuh kehangatan." Ucap Beno seolah menertawakan nasib Vadiya.
Wanita muda yang bersuami kaya raya, namun mempunyai cacat fisik di kakinya.
Seorang pria dua tingkat diatasnya, namun dalam satu universitas yang sama.
Seorang pria cerdas dan pendiam namun berasal dari keluarga terpandang dan terkenal karena bisnisnya.
Meski banyak yang mencibir kedekatannya, namun toh pada akhirnya Vadiya bisa menikahi dan menjadi bagian dari keluarga
Tiko Subastian.
"Jangan bawa-bawa suamiku dalam urusan kita Ben, aku tidak suka" ucap Vadiya dengan pandangan mata yang sulit diartikan.
"Ahhhh, siapa yang betah menunggu bertahun-tahun, Va?"
"Bahkan untuk bisa melihat darah dagingku sendiripun, aku harus berpura-pura. Apalagi memeluknya!"
"Omong kosong dengan segala janji-janjimu, kalau tidak karena kasihan ... sudah kubongkar semua rahasiamu di depan keluargamu."
Hardik Beno kepada wanita yang telah sekian tahun dipacarinya.
"Jangan macam-macam Ben, atau kubongkar rahasiamu dibalik kematian kakak iparku!"
Ancam Vadiya tak kalah sinis menggertaknya.
"Vadiya ... kamu tahu apa?"
Seketika tersentaklah Beno saat mendengar ucapan wanita yang selama ini dianggapnya tidak tahu apa-apa.
To be continue
Lisse
10-10-2023

Komentar
Posting Komentar