Mbak Mayang Part3
Mbak Mayang
Part3
Kegembiraan Bima dan Intan sore itu tampak nyata, saat opa dan omanya datang berkunjung dan berencana mau menginap dan mengajak liburan bersama.
Kedua bocah yang belum setahun kehilangan orang tuanya itu tampak sehat, bersih dan terawat dengan baik.
"Mbak Mayang kita ajak kan, oma?" tanya Intan saat mendengar rencana liburan bersama.
"Mbak Mayang biar tinggal di rumah, menjaga rumah dari penjahat," jawab omanya dari atas kursi rodanya.
"Tapi adek nggak bisa bobok kalau tidak ada Mbak," rengek Intan dengan kecewa.
"Iya... iya, Mbak boleh ikut," ucap opa dari ruang kerja almarhum anak lelakinya.
"Horeeeee ... horeee" teriak keduanya dengan mata berbinar.
Pak Subastian memang hampir seminggu sekali mampir untuk sekedar meneliti berkas-berkas perusahaan milik anaknya. Terutama bagian administrasi keuangan. Banyak pekerjaan dan segala transaksi yang dia teliti kembali.
Hasilnya memang ada yang mencurigakan.
Insting pengusahanya memang tajam, setajam kelincahannya memanfaatkan setiap peluang. Wajarlah bila bisnisnya semakin berkembang.
---------***---------
Pulau Dewata masih memukau dengan keindahan alam dan budayanya.
Sebuah villa yang biasa menjadi langganan keluarga kaya itu, kini tampak ramai dengan kehadiran keluarga besar Subastian.
Ada Risma dan suaminya dengan kehamilannya yang memasuki bulan ketiga.
Bima dan Intan serta Mayang.
Ibu Murtia dan Pak Subastian serta Tiko, adik almarhum Riyo.
"Apakah Vadiya tidak jadi menyusul?" tanya Bu Murtia pagi itu saat berjemur di taman belakang villa.
"Masih ada urusan kantor dan meeting diluar kota, Bu" jawab Tiko dengan mata menerawang.
"Lho, siapa yang menjaga Rega? Sama Supiyah sendirian dirumah?" tampak kecemasan di wajah wanita itu.
"Tidak, Bu ... Vadiya membawa Rega sekalian. Setelah urusan kantor selesai, mereka akan menyusul kesini." Terang Tiko berusaha menenangkan ibunya.
"Tiko, apakah hubungan kalian baik-baik saja selama ini?" tanya Bu Murtia seolah ada yang dicemaskannya.
Namun tak ada jawaban yang didapatkan, selain sesungging senyum dari Tiko yang sulit diartikan maknanya.
----------***----------
Sementara di sebuah villa tampak Beno dan Vadiya serta si kecil Rega yang sedang lucu-lucunya.
"Ketampanan yang menurun dari papanya bukan?" ucap Beno yang tak henti memandangi wajah balita yang sedang bermain dengan bolanya.
"Jangan kau rusak pertemuan ini dengan rencana gilamu Ben!" gusar Vadiya saat mendengar ucapan Beno.
"Aku hanya ingin menunjukkan kesungguhanku untuk hidup bersamamu Va" tukas lelaki berwajah tampan itu dengan tegasnya.
"Tidak untuk saat ini Ben, keadaanku masih belum cukup alasan untuk menuntut perceraian."
Jawab Vadiya.
"Karena suamimu yang cacat itu selalu memenuhi kebutuhanmu kan? Sedangkan untuk urusan biologis dia cuma pecundang diatas ranjang" ejek Beno dengan senyum kemenangan.
"Aku bisa saja membuka rahasia kita, setelah kau diusir dari rumah mewah itu, kita mulai menata hidup yang baru."
"Bagaimana, kau setuju?"
Cerocos Beno seolah tidak bisa menahan hasratnya untuk memiliki Vadiya.
"Jangan ngawur Ben, semua tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ini menyangkut nama baik kita bahkan Rega. Apa kamu mau anak kita menyandang sebutan anak haram selama hidupnya?"
Hardik Vadiya dengan segala pemikirannya.
"Atau barangkali sebenarnya kau memang mencintai Si Tiko?" ledek Beno diiringi dengan tawa kerasnya.
---------***-------
Sementara setelah dua hari di Bali, Tiko berniat kembali ke Surabaya.
Dengan membawa perasaan yang tidak karuan, diyakinkannya bisikan hatinya.
Bahwa semua akan baik-baik saja.
Meskipun seharian tidak bisa menghubungi Vadiya dan Rega.
Sms dan panggilannya tidak djawab!
Biasanya meskipun hanya celotehan Rega yang diperdengarkan, selalu Vadiya lakukan.
Semoga mereka baik-baik saja.
"Hai Ko, waaah habis liburan nich" sapa seseorang yang tiba-tiba muncul dari bangku ruang tunggu di sebelahnya.
"Hai Roy ... liburan tipis-tipis sama keluarga. Lagi sibuk bikin lagi apa nich? Banyak banget peralatan kameranya."
Jawab Tiko ketika mengetahui kedatangan Roy.
Seorang penulis dan sutradara muda yang gemar mengambil video dimanapun berada, demi bahan tulisan ataupun dokumetasi filmnya.
"Ko, aku turut berbela sungkawa atas kepergian Riyo dan istrinya," ucap Roy sambil menepuk pundak Tiko.
"Sudah takdirnya Roy, tak ada yang bisa menolak bukan?" jawab Tiko dengan datar.
"Ehhh ... tetapi saat malam kejadian, sebelumnya kita sempat bertemu di café XL lho. Bahkan kita sempat ngobrol." Imbuh Roy sambil mengeluarkan kamera mininya.
"Bahkan aku sempat mengambil video untuk dokumentasi proyekku." Jelas Roy diantara kesibukannya menyalakan kameranya.
Sebuah video dengan pengambilan sudut yang profesional menggambarkan suasana sebuah café dengan pengunjung yang tidak begitu ramai.
Dengan rasa penasaran, Tiko memperhatikan rekaman video yang dibuat oleh Roy.
Terlihat hampir seluruh ruang meskipun remang-remang.
"Sebentar Roy, bisa mundur sedikit," tahan Tiko saat melihat ada sesuatu gerakan yang mencurigakan.
Dari deretan kursi dan meja dalam ruangan itu, tampak dua orang yang sedang duduk berhadapan.
Dari gestur tubuhnya, sepertinya terjadi keributan.
Lalu seseorang menghampiri dan mengajak keduanya keluar.
Pada saat itulah, muncul lelaki dengan gerakan menaruh sesuatu ke dalam gelas yang ada diatas meja.
Tak lama kemudian apa yang terjadi?
"Wow... aku malah tidak begitu perhatian pada part ini," ucap Roy sambil matanya tak lepas dari kameranya.
"Beno" desis Tiko seakan ragu dengan penglihatannya.
"Lhoo... itu Riyo kan? Nah, kalau yang ini jelas Arin," ucap Roy yang ikut menjadi serius dengan tangkapan layar cameranya.
Sejenak keduanya saling berpandangan dengan tegang.
Jadi?"
Ucap keduanya hampir bersamaan.
To be continue
Lisse, Nederland
09-10-2023
Komentar
Posting Komentar